Cerpen : SENYAP (Lidya Pawestri Ayuningtyas


Cerpen : SENYAP karya : Lidya Pawestri Ayuningtyas

Langit masih semerah saga.

Dulu Aliyah suka mengambil tebaran biji saga yang berserakan di halaman rumah. Terburai sepanjang jalan berbatu hingga ke sekolah. Sepulang sekolah ia suka memungutinya, dan menyimpannya di dalam sebuah stoples plastik bening, dan di rumah ia akan berkreasi dengan biji-bijian itu bersama lem, kertas, kardus, dan dedaunan kering. Membuat diary atau bingkai foto.  Kadang ia dan Mahar akan bermain congklak atau perang-perangan menggunakan biji-biji saga bersama tetangganya yang lain. Untuk itu mereka harus punya amunisi setoples besar penuh berisi biji berwarna merah tersebut. Tapi itu dulu.

Aliyah menghela napas.

Dan langit masih merah juga. Semerah saga.

Sama saja, di sini langit selalu sama. Langit hanya akan menggelap menjelang malam, menjadi sewarna merah darah lalu hitam. Seperti luka yang teroksidasi menjadi keropeng. Udara beraroma logam, debu, dan pasir. Sering ia merindukan langit biru berhiaskan barisan gemawan putih dengan cericip burung gereja. Kalau rindu sedang hebat-hebatnya mendera, ia akan masuk ke SimChamber, ruangan khusus simulasi yang menyediakan bermacam rupa pemandangan alam. Ia bisa menyetel ruangan itu dalam pemandangan alam yang ia suka. Kutub Utara dan menyaksikan Aurora Borealis? Kutub Selatan dan menyaksikan Aurora Australis? Hutan di Sumatera, kampung halamannya, sebelum (terbakar) habis? Tepi pantai Hawaii? Apa saja bisa. Biasanya Aliyah akan menyetel pemandangan dalam mode acak tiap tiga puluh menit. Pemandangan bumi apa pun lengkap dengan tekanan dan suhu udara ia terima. Asal ia bisa melupakan langit merah di luar jendela barang sejenak.


Kalau tidak sedang rindu, ia akan duduk-duduk di balik jendela ruang tamu seperti saat ini. Ia akan menunggu siapa pun datang dan mengajaknya bicara. Kebanyakan dari mereka adalah mantan murid-muridnya yang kini telah bekerja. Kadang mereka membawa serta anak-anak mereka. Di sini, mereka semua menggunakan bahasa resmi, bahasa Inggris. Dan tentu ada kampung-kampung Pecinan, India, Arab, namun tak ada yang menggunakan bahasa itu untuk saling berkomunikasi. Aliyah satu-satunya yang berdarah Indonesia di koloni ini. Setelah menamatkan SMA di ibu kota provinsi, ia melanjutkan kuliah di Jakarta. Selepas kuliah, pemerintah mengadakan seleksi bagi siapa pun yang berminat dan ingin mengabdi dalam misi penerbangan ke luar angkasa, menuju sebuah planet baru yang bisa ditempati manusia. Sebenarnya program ini mirip transmigrasi, bedanya mereka harus selama tiga bulan berada dalam kegelapan angkasa luar sebelum sampai di tujuan. Ia lolos seleksi dalam misi penerbangan ketujuh dan menjadi guru biologi di planet ini. Dulu ia begitu kuat menahan debu dan angin penuh pasir, kini bahkan tenaganya hampir tak diperlukan lagi. Semakin banyak anak-anak muda yang datang dan lahir.

Sayup-sayup dari ruang tengah, ia mendengar dering telepon. Aliyah mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya telepon berdering di tengah-tengah minggu seperti ini. Lagi pula hanya dari seseoranglah ia menunggu telepon tiap akhir pekan. Mahar. Lelaki itu masih tinggal di bumi, beranak-pinak, dan bercucu di planet yang sama. Rumahnya di mana-mana. Tanahnya semakin luas. Kadang Aliyah merasa hanya satu yang bisa ia banggakan dari dirinya, ia menjelajah lebih jauh dari para pelaku sejarah yang ia baca di  buku-buku.

Tertatih, perempuan tua itu berjalan menuju telepon. Tangannya agak gemetar ketika menekan tombol loudspeaker.

“Halo,” suara Mahar. Lalu jeda dua detik.

“Halo, Mahar?”

Jeda lagi.

“Ha…,” terputus , “…Lo, halo?”

“Ya, Mahar. Bicara saja.”

“Iya, Kak. Mahar ini.”

“Ah, gimana kabar? Keluargamu sehat?”

Jeda dua detik, empat detik, tujuh detik.

Lalu suara Mahar terdengar berbisik, “Belum sampai beritanya?”

Aliyah menajamkan pendengaran. Sayang sekali kamera untuk melakukan video call yang dapat disambungkan ke telepon ini rusak.

“Apa? Berita apa?”

“Ya, kami baik-baik saja. Masih aman.”

“Masih?”

“Mungkin akan sulit telepon ke sana beberapa bulan ke depan. Kami belum tahu pasti.”

“Kenapa? Benar-benar aman?”

“Sebentar Kak, kututup dulu. Nanti kalau ada kesempatan kutelepon lagi. Kakak sehat-sehat ya.”

“Mahar!”

Tidak ada jawaban.

“Mahar!” Aliyah memanggil lagi.

Bip! Lalu sambungan terputus.

Dengan tangan yang bergetar semakin hebat, Aliyah mengambil masker di dinding dan tudung merah tebalnya. Ia mirip si tudung merah dalam dongeng, dalam versi yang jauh lebih tua. Setelah mengunci pintu, ia menyusuri jalanan yang sepi. Angin menderu-deru, butir-butir pasir terempas ke wajahnya, seperti dilempar oleh tangan-tangan setan kecil yang sedang iseng. Di ujung jalan, ia berbelok ke kiri dan di depan sebuah rumah bercat kelabu, ia menekan tombol bel rumah keluarga Lee.

“Nenek Aliyah!” Cathlyn Lee yang membukakan pintu. Ia masih belum mengganti jaket sekolahnya yang berwarna biru. “Masuk Nek, aduh, buruk sekali udara di luar.”

Aliyah mencoba tersenyum menenangkan, “Hampir setiap hari juga seburuk ini. Aku tidak akan lama. Kedua orangtuamu ada di rumah?”

“Belum, mereka belum pulang.”

“Ada kabar dari bumi?”

Cathlyn tidak segera menjawab, “Tidak. Belum.”

Sebenarnya Aliyah mengenal Cathlyn sejak gadis itu masih bayi, bahkan sempat menjadi gurunya selama dua tahun sebelum akhirnya ia pensiun. Ia mengenal bagaimana gadis itu berbicara, bagaimana rupa gadis itu kala menyembunyikan sesuatu. Ada yang disembunyikan olehnya kali ini.

“Gencatan senjata di sana bagaimana?”

Cathlyn tersenyum, “Masih berlangsung. Mereka bahkan sedang merundingkan perdamaian.” Ia berjalan ke arah meja kopi, “Nenek mau minum kopi panas, teh hangat, atau…”

“Tidak, tidak, aku pulang saja,” Aliyah tak nyaman dengan keramahan Cathlyn dan apa pun yang disembunyikannya, “Salam untuk Ayah dan Ibumu.”

Ia membuka pintu rumah keluarga Lee dan menghambur keluar. Aliyah menyusuri kembali jalanan yang ia lewati tadi, menuju rumahnya yang kecil. Terisolasi di balik deretan pertokoan yang terbakar tiga tahun lalu.


Sesampainya di rumah, langit sudah gelap pekat. Aliyah mengempaskan tubuhnya sejenak di kursi logam sebelum memeriksa seluruh jendela dan pintu. Kadang ia menemukan sumbatan kain atau plastik yang terlepas dari sela-sela jendela, ia harus menutupnya lagi agar debu dan pasir tidak masuk.

Selesai memeriksa seluruh pintu dan jendela, ia berdiri di depan telepon. Menekan nomor telepon ke bumi. Tidak terdengar nada sambung apa-apa. Beberapa kali ia mencoba, yang ia dengar hanyalah kesunyian yang mati. Aliyah mencoba menyalakan televisi, namun tidak ada siaran yang tertangkap. Sudah sejak lama. Matanya menangkap sekilas stoples kecil bening berisi biji-biji saga di dalam lemari kaca berisi beberapa bingkai foto. Ia tersenyum sedih. Semakin tua, seseorang semakin butuh nostalgia.

Akhirnya Aliyah duduk di belakang jendela, melihat kegelapan sisa senja di luar. Menunggu entah.

Satu jam, dua jam, dua belas jam, satu hari, dua hari, satu setengah minggu, tiga minggu, menjadi bulan, menjadi tahun. Warna langit berganti-ganti dalam warna yang itu-itu saja, merah saga, merah darah, hitam, merah saga, merah darah, hitam.

Telepon di rumahnya tak pernah lagi berdering

Cerpen : Senyap

Di tulis oleh :  Lidya Pawestri Ayuningtyas

Publikasi : Bom Cerpen 2013

Publikasi ulang : Satnet Media

Copyright 2021 Satnet media licence BOM CERPEN 

Posting Komentar